Syi’ah dan Tafsir Al-Qur’an

 

Syi’ah dan Tafsir Al-Qur’an

(Oleh: Muhammad Nurul Udma)

Syiah merupakan sebuah Nama aliran yang digunakan untuk menunjuk segolongan orang yang mempunyai sikap sangat loyal terhadap Ali bin Abi Thalib dan Ahlul Bayt, dan juga sebagai golongan orang-orang yang meyakini bahwa Ali bin Abi Thalib adalah seorang yang berhak atas Imamah dan Khilafah, secara implisit maupun ekplisit, meyakini bahwa Imamah tidak akan lepas dari keturunannya hingga hari akhir kelak.[1]

Syiah pada awal kemunculannya bukan sebagai aliran madzhab yang berkutat dalam konteks teologi, akan tetapi merupakan hasil dari tanda kekuatan politik yang beranggapan bahwa Ali bin Abi Thalib adalah orang yang dirampas hak kekhilafahannya oleh Abu Bakar, Umar Bin Khattab dan Ustman bin Affan. Namun berjalan bersama berkembangnya kelompok, Syiah memiliki pandangan dalam konteks teologi (akidah dan hukum) yang hingga saat ini menjadikan sebuah aliran Madzhab yang besar dengan berbagai sekte.[2] Berkembangnya aliran Syiah juga menjadi pemicu utama kemunculan perbedaan idiologi, terutama ketika pada puncak suksesi kepemimpinan Ali bin Abi Thalib yang menjadi pemicu munculnya Al fitnah Al kubra, dan menjadi awal perpecahan idiologi internal umat Islam.[3]

 Syiah mempunyai pandangan Idiologi yang berbeda, hal ini menjadikan perbedaan pula dalam penafsiran, berangkat dari perbedaan pandangan dalam idiologi yang akhirnya masuk kedalam ranah penafsiran Al-Qur’an, karena Al-Qur’an sebagai media justifikasi paten untuk membenarkan segala tindakan dan keputusan Ideologis yang diambil oleh masing-masing golongan internal umat Islam.[4] Hal tersebut dilator belakangi oleh Tafsir yang merupakan bagian dari upaya memahami nashk kitab suci untuk menggali dan menemukan ketentuan legal,[5] sedangkan Idiologi adalah suatu ide atau gagasan sebab itulah perbedaan idiologi ini sangat dominan pengaruhnya dalam penafsiran Al-Qur’an.

Diantara faham syiah yang menjadi pokok utama dalam perbedaan penafsiran diantaranya: pertama. Konsep Tahrif, kelompok syiah menuduh dan meyakini adanya tahrif Al-Qur’an (Mengurangi atau menambah pada huruf atau harakat, Mengurangi atau menambah dengan satu kalimah atau dua kalimah, Tahrif dengan menambahi atau mengurangi ayat atau surat) yang dilakukan oleh Abu Bakar, Umar Bin Khattab dan juga Utsman Bin Affan.[6] Syiah meyakini bahwa Al-Qur’an yang ada pada kita saat ini tidek orisinil karena terdapat  Tahrif dalamnya sebagaimana disebutkan dalam kitab al-Kafi “Dari Abi Abdillah as, beliau berpendapat bahwa: Sesungguhnya ayat-ayat Al-Qur‟an yang dibawa malaikat Jibril as, kepada Nabi Muhammad saw., adalah sebanyak 17000 ayat” (al-Kafi, Juz II halaman 634).[7]

Tuduhan Tahrif yang dilakukan oleh ALiran Syiah terhaadap Abu Bakar, Umar Bin Khattab dan juga Utsman Bin Affan diantaranya; Abu Bakar, Umar Bin Khattab dan juga Utsman Bin Affan telah mengubah dan juga menghilangkan beberapa ayat dan surat, seperti merubah kalimat “Aimmamatun hiya azka min Aimmatikum”, “Imam-imam yang lebih suci dari pada imam-imam kamu” menjadi ”Ummatun hiya arba min ummatin“, “Satu golongan yang lebih banyak jumlahnya dari golongan yang lain” (Q.S. An-Nahl : /16/ 92). Kemudian menggugurkan ayat- ayat yang menjelaskan tentang keutamaan Ahlul bayt dan secara total menghapus surang yang menerangkan tentang kekuasaan (Al-Wilayah).[8]

Pendapat syiah yang menjustis kelompok sunni sebagai kelompok pelaku tahrif Al-Qur’an ini bertolak belakang dengan pengakuan kelompok sunni yang secara mutlak tidak mengakui adanya tahrif dalam Al-Qur‟an, Sunni mengakui adanya Nasakh Mansukh dalam Al-Qur‟an,[9] menerima keotentikan, kelengkapan dan kemutawatiran Al-Qur‟an yang tertulis dalam mushaf Usmani saat ini tanpa ada pengurangan dan tambahan (tahrif ) sedikit pun.

Kedua. Konsep Imamah, konsep ini sangat diyakini oleh Aliran Syiah, yang masyhur dengan istilah Syiah Itsna ‘Asyariah yakni keyakinan terhadap imam dua belas, yaitu diawali oleh Ali  Bin Abi Thalib dan diakhiri oleh imam Mahdi nanti di akhir zaman.[10] Akidah kaum Syiah tentang imāmah begitu besar pengaruhnya terhadap penafsiran Al-qur’an, salah stunya, kaum Syiah Ja’fariyah berpandangan bahwa seorang imam itu laksana Nabi dalam hal kema’shuman, sifat dan ilmunya. Al-Qur’an yang tertulis dalam mushaf dianggap hanyalah sebuah al-Qur’an yang diam, sementara perkataan para imam adalah al-Qur‟an yang berbicara. Keyakinan tersebut didasari dengan perkataan Ali Bin Abi Thalib yang difahami bahwa menafsirkan al-Qur’an tidak bisa secara langsung merujuk makna secara zahir tetapi harus merujuk pada petunjuk yang dirujuk kepada para imam.[11] Implikasinya menunjukkan bahwa Syiah mengakui Al-Qur’an yang ada didalam Mushaf adalah Al-Qur’an yang diam, maka mengamalkan Al-Qur’an harus berpedoman pada Al-Qur’an yang hidup yakni Imam. Syiah meyakini bahwa imam itu layaknya Nubuwwah yang membedakan hanyalah Wahyu dan Iham.

Syiah berbeda pandangan dengan Jumhur ulama Sunni yang berpandangan bahwa al-Qur’an yang dipegang oleh kaum muslimin, atau Mushaf Utsmani merupakan hasil karya para sahabat yang otentik, orisinil, mulia dan terjaga hingga hari kiamat,[12] sebagaimana Allah terangkan dalam Firman-Nya: “Tidak ada perubahan bagi kalimat-kalimat Allah, yang demikian itu adalah kemenangan yang besar” (Qs. Yūnus [10]: 64), dan juga ayat yang lain, yang artinya: “Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan al-Qur’an, dan sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya.” (Qs. al-Hijr [15]: 90). kendati demikian, antara Syiah dan Sunni tidaklah mutlak semuanya berbeda dalam penafsiran. Allah A’lam Bis-Shawab.



[1] Slamet Mulyono, Pergolakan Teologi Syiah-Sunni: Membedah Potensi Integrasi dan Disintegrasi, Ulumuna Jurnal Studi Keislaman, Volume 16 Nomor 2 (Desember) 2012, hal 247.

[2] Slamet Mulyono, Pergolakan Teologi Syiah-Sunni: Membedah Potensi Integrasi dan Disintegrasi, Ulumuna Jurnal Studi Keislaman, Volume 16 Nomor 2 (Desember) 2012, hal 248.

[3] Opin Rahman & M. Gazali Rahman, Tafsir Ideologi: Bias Idiologi dalam Tafsir Teologi Sunni, Muktazilah, dan Syia, As-Syams: Journal Hukum Islam Vol. 1, No. 2. Agustus 2020, 181-195, hal 181.

[4] Opin Rahman & M. Gazali Rahman, Tafsir Ideologi: Bias Idiologi dalam Tafsir Teologi Sunni, Muktazilah, dan Syiah, hal 181.

[5] Sofyan A.P. Kau, Tafsir Hukum: Tema-Tema Kontroversial, (Cet. II; Gorontalo: Sultan Amai Press 2010), h. V.

[6] Mukromin, Tahrif Al-Qur’an Antara Sunni dan Syiah, jurnal, manarul qur’an, hal 95.

[7] Kholili Hasib, Kritik-kritik Sunni terhadap Syiah, Republika, Hari Kamis 26 Januari 2012.

[8] Manna Khalil al-Qattan, Studi Ilmu-ilmu Al-Qur’an, Judul aslinya adalah “Mabahis Fi Ulum Al-Qur’an” diterjamahkan oleh Mudzakir as. Jakarta: Litera Antar Nusa, 2005, hlm., 204

[9] Mukromin, Tahrif Al-Qur’an Antara Sunni dan Syiah, jurnal, manarul qur’an, hal 95.

[10] Huzaemah, Perbandingan Madzab (Jakarta: Logos, 1997), hal 152.

[11] Slamet Mulyono, Pergolakan Teologi Syiah-Sunni: Membedah Potensi Integrasi dan Disintegrasi, Ulumuna Jurnal Studi Keislaman, Volume 16 Nomor 2 (Desember) 2012, hal 252.

[12] Ulumuna Jurnal Studi Keislaman, Volume 16 Nomor 2 (Desember) 2012, hal 253.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Filsafat Ilmu Nahwu Shorof

Al-Hayyu dan Al-Hayya

Lirikan mata merupakan sebuah kalam